Tempat ini barangkali sudah tidak asing bagi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogykarta yang akhir-akhir ini hanya sebatas dilalu lalangi oleh mahasiswa, yakni Taman Mustofa. Taman Mustofa sangat strategis tempatnya, ia berada di tengah antara Sportorium dengan Gedung AR Fakhruddin A ataupun B dan juga berada di depan Gedung Fakultas Fisipol serta Hukum. Tidak dapat dilepaskan pula bahwa Taman Mustofa ini juga berada di depan sekertariat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Menurut pengamatan penulis, akhir-akhir ini mahasiswa begitu padat dengan aktivitas akademik sehingga luput untuk mengembangkan kapasitas pengetahuannya. Hal tersebut berkesinambungan dengan sepinya Taman Mustofa dengan ketiadaan bentuk agenda diskusi di tempat itu.
Ketika penulis masih menjadi mahasiswa baru Taman Mustofa begitu ramai dengan agenda-agenda diskusi yang membahas permasalahan bangsa, daerah, maupun lingkup kampus sebelum dihantam oleh pandemi Covid-19. Namun, hingga masa pasca pandemi saat ini, sepertinya Taman Mustofa masih belum kembali seperti sedia kala dan jauh akan dialektika yang dapat menunjang pengembangan kapasitas pengetahuan individu mahasiswa.
Agenda-agenda diskusi di Taman Mustofa yang sering dibuat oleh organisasi mahasiswa internal maupun eksternal dan individu saat ini telah jarang dilakukan. Oleh karena itu, Taman Mustofa kini seolah kehilangan pemaknaanya sebagai ruang dialektika mahasiswa dari segala penjuru fakultas dan hanya menjadi seperti “hiasan” untuk memperindah kampus.
Merebut Kembali Taman Mustofa Sebagai Ruang Dialektika
Henri Lefebvre, seorang filsuf dari negara barat yakni Prancis, memandang bahwa ruang adalah sebuah produksi sosial. Jadi yang dimaksud ruang bukanlah realitas material yang bersifat swadiri (in itself). Ruang bagi Henri, tidak pernah ada dengan sendirinya. Namun ruang diproduksi secara sosial dan ia menyebut dengan konsep baru yakni, ruang sosial.
Ruang selalu terkait dengan gejala sosial masyarakat, jadi, tidak bisa tidak untuk memahami sebuah ruang harus dipahami juga keadaan sosial masyarakat (mahasiswa UMY). Hal tersebut menegaskan bahwa memikirkan ruang, kita harus keluar dari pemahaman mengenai ruang sebagai sebuah realitas independen yang ada “dalam dirinya sendiri” (in itself). Jadi ruang hanya bisa ada karena diproduksi dan direproduksi oleh keadaan sosial.
Pada konteks Taman Mustofa, jika tidak ada yang memproduksi secara kolektif kesosialan mahasiswa maka tempat tersebut hanya akan berhenti pada tataran hiasan kampus untuk memperindah lingkungan tanpa ada makna lebih untuk mahasiswa itu sendiri. Lambat laun Taman Mustofa akan punah dan jauh dari ruang dialektika.
Oleh karena itu, mahasiswa harus merebut kembali ruang Taman Mustofa sebagai ruang sosial yang diperuntukan bagi pengembangan kapasitas pengetahuan. Cara-cara mengidupkan kembali sebuah entitas ruang sosial dialektika mahasiswa harus berangkat dari kesadaran kolektif, merestorasi fungsinya dengan cara menitik sentralkan Taman Mustofa sebagai tempat agenda-agenda diskusi keilmuan, problematika kebangsaan, kedaerahan dan lingkup kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sehingga, tempat ini kemudian akan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang peka akan problematika keadaan dan juga melahirkan orang-orang yang mampu berfikir secara kritis.
Penulis : Taufiq Firdaus
Editor : Sakinah