Istilah ‘nglaju’ sudah akrab di telinga masyarakat Jogja. Umumnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan mereka yang harus menempuh jarak cukup jauh untuk mencapai tempat kerja atau kampus, meskipun masih dalam wilayah yang dapat dijangkau. Tak jarang, waktu tempuh yang lama menjadi kendala dalam menjalani aktivitas harian. Mahasiswa yang nglaju harus berangkat pagi-pagi untuk menghindari kemacetan, dan pulangnya bisa larut malam.
Di Jogja, banyak mahasiswa asli daerah ini yang memilih untuk tinggal di kos meski kampusnya tidak jauh dari rumah. Namun, ada juga yang memutuskan untuk nglaju setiap hari karena berbagai alasan. Nglaju memang bisa menjadi aktivitas yang cukup melelahkan. Perjalanan panjang menghabiskan waktu dan energi untuk mencapai kampus.
Yasmin, seorang mahasiswa asal Sanden, Bantul yang berkuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), telah merasakan lika-liku kehidupan nglaju selama lebih dari tiga tahun. Mahasiswa semester akhir ini setiap hari harus menempuh perjalanan pulang-pergi dari rumahnya ke kampus. Ia harus melewati jalan Ringroad, menghadapi panasnya matahari dan polusi kemacetan, serta sering kali terburu-buru agar tidak terlambat.
Yasmin memilih untuk nglaju karena jarak antara rumah dan kampus masih relatif terjangkau. Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai kegiatan organisasi di kampus, yang membuatnya seringkali harus berada di kampus dari pagi hingga sore, bahkan malam. Meski begitu, ia tetap menikmati rutinitas tersebut.
“Sudah terbiasa, jadi kalau teman-teman merasa capek karena perjalanan jauh, saya malah sudah nggak terlalu merasakan karena sudah menjadi kebiasaan,” kata Yasmin.
Yasmin juga merasa bahwa anggapan tentang nglaju di Jogja seringkali dianggap terlalu berlebihan. Wilayah Jogja yang tidak terlalu luas sebenarnya masih bisa dijangkau dengan baik, dan itulah alasan banyak orang Jogja memilih untuk nglaju. Perjalanan Yasmin dari rumah ke kampus memakan waktu sekitar 40 menit, ditambah persiapan dan kemungkinan macet di perjalanan. Namun, karena sudah terbiasa, perjalanan ini terasa lebih nyaman dan cepat baginya.
“Kalau berangkat pagi, biasanya saya ketemu dengan anak-anak yang berangkat sekolah atau orang-orang yang pergi kerja,” tambahnya.
Hal inilah yang membuat Yasmin termotivasi untuk tetap menikmati perjalanan sehari-harinya. Alasan keluargalah yang menjadi faktor utama mengapa Yasmin memilih untuk tetap tinggal di rumah dan nglaju ke kampus. Ia merasa tidak akan bisa bertemu keluarga setiap hari jika memutuskan untuk tinggal di kos.
“Setelah pulang dari kampus atau kegiatan organisasi, rasanya seperti di-recharge, meski capek saat perjalanan pulang, tapi setelah ketemu keluarga, energinya balik lagi,” ungkap Yasmin tentang suka duka menjadi seorang penglaju.
Namun, perjalanan panjang ini juga membutuhkan persiapan yang matang. Yasmin seringkali mengalami momen ‘kelupaan’ barang di tengah perjalanan. “Kalau barangnya penting, pasti balik, tapi kalau nggak penting, ya biarin aja,” ujarnya. Rutinitas harian yang padat, ditambah dengan kewajiban melanjutkan aktivitas esok harinya, kadang membuat energinya terkuras, dan dampaknya bisa merugikan diri sendiri.
“Kadang kalau bangun kesiangan, sampai kampus terlambat, dan kalau dosennya nggak kasih izin masuk kelas, itu yang bikin susah,” kata Yasmin saat mengenang momen bangun kesiangan.
Meskipun ada banyak suka duka yang dirasakan selama menjadi penglaju, Yasmin tetap menikmati perjalanannya. Anggapan bahwa nglaju di Jogja adalah sesuatu yang ekstrim belum tentu benar, tergantung pada perspektif masing-masing dan bagaimana cara menikmati perjalanan yang ada. Sesekali, Yasmin merasa iri melihat teman-temannya yang bisa langsung istirahat setelah selesai kuliah, sementara dia masih harus menempuh perjalanan pulang.
Penulis : Muhammad Surya Kukuh
Editor : Sakinatudh Dhuhuriyah