Sudah satu tahun sejak pandemi COVID-19 datang ke Indonesia, itu artinya sudah satu tahun pula kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Masih terekam jelas bagaimana satu tahun lalu pelajar, mahasiswa, guru, dosen, ataupun tenaga pendidik mulai mengunduh aplikasi video conference mulai dari Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, dan lain sebagainya. Tempo.co sendiri mencatat pada 26 Maret 2020, pengunduhan aplikasi Zoom mencapai kenaikan hingga 1.270 persen. Tak hanya aplikasi video conference, berbagai platform e-learning di tiap kampus dan sekolah mulai dibuka.
Kuliah daring yang awalnya direncanakan hanya berlangsung selama dua minggu, kemudian di perpanjang sebulan, menyusul tiga bulan, hingga pada akhirnya sampai batas yang tak ditentukan. Bukan hal yang mudah melakukan adaptasi dari kuliah offline menuju online. Tak hanya bagi mahasiswa, namun juga para tenaga pendidik. Keluhan-keluhan seputar perkuliahan muncul, mulai dari sistem pembelajaran kurang maksimal, pemberian tugas, pelaksanaan praktikum, kurangnya respon aktif mahasiswa, hingga pada permasalahan jaringan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun apa daya manusia hanya berusaha, selebihnya kehendak Yang Kuasa.
New Normal: Harapan Baru Kuliah Luring
1 Juni 2020, atau tepatnya tiga bulan pasca COVID-19 datang, skenario new normal ditetapkan. New Normal adalah skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Skenario ini memiliki beberapa indikator sesuai dengan yang disarankan oleh World Health Organization (WHO).
Sebulan setelahnya, atau tepatnya di tanggal 20 Juli 2020, skenario ini berubah menjadi Adaptasi Kebiasaan Baru. Meski berbeda nama, namun pada intinya skenario ini dilakukan sebagai salah satu penanganan dan pemulihan sosial ekonomi masyarakat di Indonesia. Sejak adanya skenario new normal, muncul harapan-harapan baru untuk melakukan kuliah secara luring. Bukan tanpa alasan, kejenuhan akan sistem online menjadikan banyak mahasiswa merasa kurang fokus akan apa yang disampaikan oleh dosen.
Meski harapan-harapan tersebut santer dibicarakan di media sosial, namun Menteri Pendidikan, Nadiem Makariem kemudian membantah dan menyarankan kebijakan baru terkait pembukaan kuliah luring. Melansir dari laman resmi CNN Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memulai kembali kegiatan belajar tatap muka di sekolah dan perguruan tinggi di seluruh zona mulai Januari 2021. Hal ini diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021.
Januari, Wacana Kuliah Offline, dan Kasus COVID-19 Meningkat
Ibarat pepatah, seperti pelangi setelah hujan. Harapan akan bertemu secara tatap muka dengan teman, dosen, karyawan, tenaga pendidik, bangku-bangku kuliah, lorong-lorong, taman kampus, dan seabrek dunia perkampusan offline akan terwujud. Setidaknya begitulah yang terfikirkan oleh hampir seluruh mahasiswa di Indonesia. Namun lagi-lagi manusia hanya bisa berencana, selebihnya memang sudah menjadi kehendak Yang Kuasa. Apalagi kalau bukan karena meningkatnya kasus COVID-19 di Indonesia.
Masih dari CNNIndonesia.com, pada 31 Januari 2021 Indonesia mencapai 36,1 persen positivity rate harian COVID-19. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk melakukan skenario baru guna menekan kembali angka peningkatan kasus COVID-19. Skenario PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat mulai diterapkan di Jawa-Bali selama 14 hari, terhitung sejak 11 hingga 25 Januari 2021. Pemberlakuan di ke dua wilayah ini dikarenakan Jawa-Bali adalah kontributor terbesar kasus positif COVID-19 dengan angka di atas 50%.
Lagi dan lagi, keinginan untuk melakukan kuliah tatap muka harus pupus begitu saja. Padahal, tak sedikit dari mahasiswa yang sudah pulang ke kos guna mempersiapkan kuliah luring. Tak hanya mahasiswa, para tenaga pendidik pun demikian. Terlebih bagi pihak kampus yang sudah melakukan skenario sedemikian rupa guna mempersiapkan kuliah luring dengan protokol kesehatan yang ketat.
Jogja Kota Pelajar, Dilema Kuliah Luring
“Sekarang pemerintah DIY sedang membuat regulasi yang di dalamnya sudah memungkinkan perguruan tinggi menyelenggarakan perkuliahan tatap muka. Sudah kami izinkan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan kuliah tatap muka,” ungkap Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji, dilansir dari Tribunjogja.com pada Senin, (19/10).
Jogja, si kota pelajar tentu sangat kehilangan para pelajarnya ketika masa pandemi ini. Pernyataan dan regulasi dari pemerintah daerah memungkinkan para pengelola perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kemudian mulai mempersiapkan upaya pelaksanaan kuliah tatap muka. Baik mereka yang ada di PTN maupun PTS. Sejauh ini santer dibicarakan baru Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang siap melaksanakan kuliah secara daring dan luring sekaligus.
Namun, hal mengejutkan justru terjadi. Gubernur DIY, Sri Sultan HB X justru mengatakan bahwa Pemda DIY sejatinya belum memberikan lampu hijau untuk melakukan perkuliahan luring.
“Belum memungkinkan karena mahasiswa banyak yang dari luar daerah, jadi malah belum tentu kuliah luring dilaksanakan. Bisa jadi malah tingkat SMA dulu yang jelas orang lokal,” ungkap Sultan pada (19/3).
Memang pembelajaran tatap muka di tingkat perguruan tinggi sudah diatur dalam PPKM kali ini, namun peraturan daerah dari pemerintah DIY sendiri belum ketok palu. Meski demikian, sudah ada beberapa kampus yang melakukan perkuliahan daring dan luring secara bersamaan.
“Harapan saya semoga pandemi cepat berlalu. Bisa kuliah offline bareng semuanya. Karena ya enak offline, bisa ketemu langsung, dengerin langsung, tidak terkendala sinyal. Masalah tugas sebenarnya sama aja, cuma memang ketika kuliahnya offline seperti lebih ringan aja gitu. Ya harapannya kalau memang sudah bisa offline, segera ditetapkan meskipun dengan protokol ketat,” ungkap Nita, salah satu mahasiswa UMY yang berkesempatan mengikuti kuliah offline.
Penulis : Sri Fatimah
Editor : Sakinah/Uke