Gig Economy atau istilah yang digunakan untuk sistem pekerjaan paruh waktu atau tidak tetap ini kian populer di Indonesia. Sistem ini kian populer di Indonesia seiring dengan bertumbuhnya start up atau perusahaan berbasis teknologi digital. Mesin penggerak ekonomi perusahaannya merupakan pekerja-pekerja paruh waktu seperti driver ojek online atau e-comerce lainnya.
Gig Economy sendiri menurut Small Biz Trends merupakan istilah yang biasa digunakan para musisi yang sama artinya dengan “manggung”, dikarenakan musisi setiap kali manggung itu berpindah tempat. Maka sistem ekonomi yang mempekerjakan karyawan secara paruh waktu ataupun kontrak ini dinamakan Gig Economy, karena pekerjanya sendiri juga berpindah-pindah lokasi kerja dan tidak terikat waktu kerjanya. Hanya ketika ada panggilan saja mereka melakukan pekerjaannya.
Temuan dari Happiness Index Survey oleh SEEK Asia mengatakan bahwa sistem ini mampu meningkatkan kebahagiaan para pekerja. Hal ini bisa dikatakan karena sistem ini merupakan strategi efektif mengurangi beban kerja yang naik secara signifikan sehingga dapat menimbulkan efek domino di kemudian hari. Efek itu bisa saja terjadi ketika karyawan merasa tidak bahagia saat bekerja di perusahaan mereka sebelumnya dan berencana untuk mencari kerja di tempat yang lebih baik lagi. Lebih buruknya ketika para pekerja tersebut menyebarkan berita buruk tentang perusahaan sehingga perusahaan tersebut akan dihindari oleh para calon pekerja potensial dalam melamar kerja.
Bagi perusahaan, keuntungan penerapan sistem Gig Economy juga memberikan keuntungan terkait pada biaya pengeluaran untuk pekerja. Karena dengan sistem ini perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk memberikan benefit tambahan, seperti asuransi kesehatan, bonus kinerja, maupun THR kepada pekerja paruh waktu mereka. Sehingga biaya yang dikeluarkan juga sedikit.
Perusahaan juga akan mempunyai waktu yang cukup efisien dengan mempekerjakan pekerja paruh waktu. Karena dengan begitu perusahaan hanya perlu memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab, serta output yang diharapkan pada para pekerja paruh waktu tersebut. Sehingga tidak perlu lagi perusahaan melakukan proses perkenalan atau pelatihan kerja yang biasa dilakukan sebelum pekerja mulai bekerja.
Jika dilihat dari sisi pekerja, sistem ini mampu memberikan kesempatan para pekerja untuk menjalankan pekerjaan lebih di satu perusahaan. Hal tersebut bisa saja terjadi karena para pekerja memiliki waktu lebih supaya leluasa untuk meningkatkan kualitas diri mereka di luar perusahaan, karena tidak adanya waktu terlalu mengikat mereka untuk bekerja.
Bagi anak muda yang sudah masuk usia angkatan kerja namun bukan angkatan kerja seperti mahasiswa ataupun pelajar SMA yang sedang masuk waktu libur. Menjadi pekerja paruh waktu bisa membatu mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri. Sehingga tidak terlalu membebani orang tua mereka.
Namun di sisi lain, meskipun sistem ini menawarkan fleksibilitas dalam bekerja. Menurut Forbes dalam lamannya, banyak pekerja sering kali merasa tereksploitasi. Apalagi jika mereka sudah berkeluarga dan hanya mengandalkan kerja paruh waktu sebagai mata pencaharian, tentu hal itu akan memberatkan mereka dalam pemenuhan kebutuhan harian.
Misalnya ada seseorang yang bekerja sebagai driver di salah satu e-commerce, yang di situ tidak menawarkan jenjang karier, peningkatan keterampilan, dan jaminan finansial. Hal tersebut tentu bukan situasi yang membahagiakan. Terlebih lagi belum ada undang-undang yang mengatur asuransi, pesangon, hak cuti, hingga jaminan pensiun di masa tua bagi para pekerja paruh waktu.
Baik dan buruknya sistem ini pada faktanya memang cukup membantu dalam mengurangi pengangguran di Indonesia, dan mampu membantu menjaga kestabilan ekonomi di masa pandemi.
Penulis : Ari Himawan
Editor : Sakinah