Gempa Gerak Lambat Selama 32 Tahun Terungkap, Risiko Tinggal di Indonesia?

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Di sebut-sebut, negara ini menjadi jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yakni Lempeng Indo-Australia, Lempeng Euarasia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tersebut tentu bergerak aktif setiap harinya. Karenanya, Indonesia menjadi daerah rawan gempa bumi. Bahkan, BMKG mencatat hampir setiap harinya ada gempa bumi di negara ini.

Penelitian terkait perubahan iklim maupun karakteristik bumi selalu dilakukan setiap saat. Baru-baru ini sebuah penelitian dari Universitas Teknologi Nanyang (NTU), Singapura menyatakan bahwa ada gempa bumi gerak lambat yang berlangsung selama 32 tahun mulai tahun 1829 hingga 1861 di pulau Sumatera. Gempa bumi ini diklaim sebagai gempa paling lambat yang pernah tercatat.

Gempa bumi gerak lambat atau disebut juga peristiwa selip lambat adalah salah satu jenis fenomena pelepasan tegangan berlarut-larut. Yakni lempeng tektonik bumi bergeser satu sama lain tanpa menyebabkan guncangan atau kehancuran besar pada tanah. Fenomena ini biasanya melibatkan gerakan antara beberapa centimeter pertahun atau bahkan centimeter perhari.

Tim peneliti dari NTU mengatakan bahwa penelitian ini menyoroti faktor potensial yang hilang atau mismodelling dalam penilaian resiko gempa bumi global saat ini. NTU membuat penemuan mengejutkan saat mempelajari permukaan laut bersejarah menggunakan karang purba “microatolls” di Pulau Simeulue, Sumatera.

Microatolls ini berbentuk cakram dan dinilai sebagai pencatat alami perubahan permukaan laut dan ketinggian tanah. Dengan data dari microatolls dan simulasi gerakan lempeng tektonik bumi, NTU menemukan bahwa dari tahun 1829 hingga 1861, pulau Simeulue tenggara tenggelam ke laut lebih cepat dari perkiraan.

NTU juga menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan proses bertahap yang menghilangkan tekanan di bagian dangkal tempat dua lempeng tektonik bertemu. Namun tekanan itu dipindahkan ke segmen sebelahnya yang lebih dalam. Puncaknya, gempa bumi dan tsunami berkekuatan 8,5 SR di tahun 1861 yang menyebabkan kerusakan besar hingga korban jiwa.

Dengan adanya penemuan ini maka ada pandangan baru terkait dengan peristiwa longsoran ataupun pergeseran lempeng tektonik juga tentang rentang waktu hingga mekanisme fenomena ini. Para ilmuwan sebelumnya percaya bahwa peristiwa longsoran lambat hanya terjadi selama berjam-jam atau paling tidak dalam hitungan bulan. Tetapi dengan penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya dapat berlangsung selama beberapa dekade tanpa memicu guncangan dan tsunami besar.

Seorang mahasiswa PhD di NTU Asian School of Environment, Rishav Mallick, penulis utama penelitian ini menyatakan bahwa berkat rentang waktu yang ada pada karang purba, ia dan peneliti lainnya dapat menyelidiki dan menemukan jawaban rahasia masa lalu. Rishav mengatakan bahwa metode dalam penelitian ini akan berguna untuk studi di masa depan tentang zona subduksi-tempat yang rawan gempa bumi, tsunami, dan vulkanik letusan. Sehingga dapat digunakan sebagai penilaian resiko yang lebih baik di masa depan.

Dalam penelitian ini, tim juga menduga peristiwa longsoran lambat sedang berlangsung di Pulau Enggano, Indonesia yang terletak sekitar 100 kilometer atau 60 mil barat daya Pulau Sumatera.

“Jika temuan kami benar, ini berarti masyarakat yang tinggal di sekitar pulau Indonesia ini berpotensi menghadapi risiko tsunami dan gempa bumi yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan sebelumnya,” ujar Aron Meltzner, rekan penulis dari Earth Observatory of Singapore di NTU. (Sraii)

 

Penulis : Sri Fatimah

Editor : Sakinah/Uke

Related Posts