Sebagai warga negara yang baik dan masyarakat global yang muda mendunia, menciptakan perdamaian yang berkelanjutan merupakan tujuan yang sangat mulia dan juga kewajiban bagi seluruh elemen masyarakat global. Membangun perdamaian tentunya harus dimulai dari scope terkecil dahulu, yakni pada lingkup keluarga, maupun masyarakat di lingkungan sekitar, yang akan membawa pada scope terbesar yang borderless (global). Salah satu pendekatan state-centric yang dapat dipertimbangkan dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan adalah dengan mengurangi peran militer (demiliterisasi) dan mendorong negara-negara untuk beralih ke pemecahan konflik tanpa kekerasan. Meskipun terdengar ‘radikal’, konsep ini memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri.
Perang merupakan kegagalan dari diplomasi
Begitulah perang terjadi menurut Tony Benn. Diplomasi merupakan instrumen utama dalam hal penyelesaian konflik, dan jika diplomasi dianggap gagal, maka cara-cara lain dapat dilakukan. Cara lain yang dimaksud adalah perang. Perang memang dibolehkan dalam sistem internasional dengan landasan pada aturan-aturan perang yang telah diatur dalam hukum perang. Namun, hal tersebut tidak lantas menjadi justifikasi untuk berperang, karena saat ini, negara-negara dihadapkan dengan era globalisasi yang mendorong negara berorientasi kepada keselamatan/keamanan manusia (human security) daripada international security.
Tanpa kekuatan militer sebagai opsi absolut dalam penyelesaian sengketa, negara-negara akan lebih fokus pada diplomasi dan hubungan bilateral maupun multilateral yang saling menguntungkan. Negosiasi akan menjadi alat utama untuk mencapai tujuan dan memecahkan konflik serta mengurangi penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar. Potensi penggunaan kekerasan secara besar-besaran juga tentunya dapat diminimalisir jika tidak menggunakan kekuatan militer. Hal ini dapat membentuk dunia yang lebih stabil dan aman, dengan fokus pada penyelesaian konflik melalui dialog dan kerja sama internasional yang berkelanjutan. Selain itu, tentunya demiliterisasi ini dapat meningkatkan keamanan global, dengan negara sebagai aktor utama harus mengurangi perasaan skeptis antarsesama. Walaupun skeptisme ini sudah mengakar dalam hubungan antarnegara, setidaknya perasaan saling curiga ini bisa diminimalkan dalam konteks keamanan dengan mengedepankan perspektif Human Security yang memprioritaskan kesejahteraan warga sipil.
Mahalnya militer dari segi materiil, hingga mempertaruhkan nyawa
Anggaran militer dari semua negara sangatlah mahal dan impact militer dianggap tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), anggaran militer dunia pada tahun 2022 sebesar US$2,24 triliun, angka ini naik 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy). Menurut SIPRI, selama periode 2013–2022 anggaran militer dunia meningkat sebesar 19%. Indonesia melalui Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, menetapkan anggaran militer Indonesia pada tahun 2023 sebesar Rp134,32 Triliun. Angka tersebut merupakan angka yang tidak main-main. Belum lagi, pada bulan agustus 2023 kemarin, Prabowo mengumumkan bahwa Indonesia menambah armada jet tempur dengan membeli 24 jet tempur F-15EX Eagle II dari AS. Pertanyaan sederhana pun terbesit di pikiran, anggaran militer sebanyak itu dan jet tempur sebanyak itu digunakan untuk apa saja? Apakah jet tempur tersebut menjadi alat peperangan atau hanya sekadar pajangan? Bukankah lebih baik anggaran besar tersebut direlokasikan ke bidang-bidang penting seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan pemberantasan kemiskinan? Yang pasti, relokasi anggaran tersebut akan membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan jika direlokasikan secara merata.
Alat-alat militer memanglah mahal, namun dampak dari penggunaan militer jauh lebih mahal. Mari kita bayangkan, berapa banyak tentara yang menjadi korban di medan peperangan?
Walaupun sudah menjadi komitmen mereka dalam bertugas, namun hal tersebut terasa sia- sia saja jika korban yang dihasilkan tidak sebanding dengan kepentingan yang diinginkan negaranya. Begitu pula dengan non-kombatan, warga sipil yang tidak berdosa yang turut terseret ke dalam peti mati akibat dari perang fisik ini serta fasilitas publik yang hancur terkena imbasnya. Jika fasilitas publik juga dirusak, maka akan menghasilkan efek domino yang melahirkan kerugian baru, seperti kerugian pada masyarakat yang masih bergantung dengan fasilitas publik dan pemerintah yang butuh waktu dan biaya lebih untuk merekonstruksi kembali fasilitas publik.
Bukankah perdamaian akan menciptakan kebahagiaan? Apakah eksistensi militer di suatu negara menghambat terciptanya perdamaian?
Dalam dimensi lain, kita bisa melihat beberapa negara di dunia lainnya yang tidak memiliki pasukan militer namun menempati posisi teratas pada penilaian tingkat kebahagian di dunia, salah satunya Islandia. Menurut data World Happiness Record yang dibuat oleh PBB, Islandia menempati posisi ke-3 pada daftar negara paling bahagia di dunia di bawah Swiss dan Denmark. Tingkat perdamaian tinggi yang ada di negara tersebut merupakan salah satu indikator dari penilaian itu. Walaupun ada banyak alasan-alasan lain yang membuat Islandia menempati posisi tersebut, namun alasan Islandia sebagai negara non-militer merupakan salah satu indikator mengapa negara tersebut menjadi negara paling bahagia di dunia. Negara lain seperti Liechtenstein yang merupakan negara termakmur di Eropa juga tidak memiliki pasukan tentara karena tingkat kriminalitas di negara tersebut sangatlah rendah dan biaya tentara yang sangat mahal juga merupakan alasan lain dari negara ini untuk menghapus tentaranya sejak tahun 1868.
Walaupun Islandia melakukan kerja sama multilateral dengan NATO dalam hal perlindungan keamanan, dan Liechtenstein yang dibantu oleh tentara Swiss dalam perlindungan kawasan, negara-negara tersebut tidak menjadikan keamanan sebagai salah satu unsur utama dalam bernegara seperti negara lain pada umumnya. Islandia dan Liechtenstein justru menekankan pada kesejahteraan warganya dengan berlandaskan pada kemakmuran ekonomi negara yang berfokus pada industri, jasa, dan pariwisata. Sangatlah pantas bagi kedua negara tersebut mendapatkan penghargaan sebagai negara yang paling makmur dan paling bahagia di dunia karena keduanya mengutamakan kesejahteraan masyarakatnya dalam bernegara.
Kekuatan militer ini tentunya merupakan produk dari zaman kuno yang terus dikembangkan hingga era modern ini sebagai bentuk self-defence bagi-negara-negara di dunia dan sudah menjadi status quo yang melekat pada sistem negara yang sangat sulit untuk dilepaskan. Setidaknya, dengan konsep demiliterisasi antarnegara ini, negara-negara dapat terhindar dari perasaan was-was dan kecurigaan satu sama lain terhadap ancaman militer, serta terhindar dari dilema untuk menambah pasukan militer maupun pasokan persenjataan yang ada. Semakin sedikit kriminalitas dan tingkat ketegangan horizontal maupun antarnegara terjadi, maka peran militer akan sangat minim untuk dibutuhkan bahkan perannya bisa ditanggalkan. Pada intinya, diplomasi “di atas meja” lebih efektif untuk peradaban manusia yang berkelanjutan daripada diplomasi di medan pertempuran yang akan mendegradasi populasi manusia.
Penulis : Muh Fauzi Usman Tunreng