Burnout, Pahami Gejala dan Penanganannya

Fenomena yang akhir-akhir ini muncul di kalangan mahasiswa adalah Burnout. Istilah burnout pertama kali dikemukakan Freudenberg, seorang psikiater di New York pada tahun 1974. Sebagai seorang psikiater, Freudenberg melihat banyak sukarelawan yang awalnya semangat membantu pasien, tiba-tiba mengalami penurunan motivasi dan komitmen kerja, penurunan ini disertai dengan gejala kelelahan fisik dan mental. Nah, gejala yang awalnya ditemukan pada pekerja ini ternyata juga ditemukan pada mahasiswa. Alhasil, beberapa gejala burnout ditemukan di kalangan mahasiswa seperti mengabaikan waktu istirahat, kelelahan yang tidak ada penyebabnya, sakit pada bagian tubuh tertentu, emosi yang naik turun, dan beberapa gejala penurunan motivasi mahasiswa dalam menjalani perkuliahan.

Alhasil mahasiswa mengalami kelelahan emosi. Kelelahan emosi ini disebabkan oleh terkurasnya energi secara emosional untuk menghadapi situasi akibat beban kerja atau tuntutan pekerjaan. Perasaan frustrasi, putus asa, tertekan, sedih, mudah tersinggung, merasa terbebani dengan tugas yang ada, mudah marah tanpa alasan yang jelas merupakan beberapa kondisi yang dapat menggambarkan kelelahan emosi. Selain itu, mahasiswa juga mengalamai penurunan prestasi pribadi. Penurunan kompetensi diri, motivasi dan produktifitas kerja ini dapat disebabkan oleh rasa bersalah karena tujuan belajar yang tidak tercapai dan perasaan rendah diri yang disertai kurangnya penghargaan pada diri sendiri. Biasanya penurunan prestasi pribadi ditunjukkan dengan sikap tidak ramah terhadap mahasiswa lain, kurang peduli pada orang lain, rasa empati berkurang, atau merasa aktivitas yang dilakukan tidak berguna.

Lalu, bagaimana agar kita bisa terhindar dan keluar dari fenomene Burnout ini? Berikut pendapat beberapa ahli mengenai cara menghapapi fenomena burnout ini. Yuk simak agar kita bisa menjadi mahasiswa yang selalu bersemangat!

Murpi (2013) menuturkan bahwa dalam menghadapi burnout adalah meningkatkan rasa bersyukur, selalu berfikir positif, dan mengalihkan fokus untuk hal-hal lain yang bisa membuat kita sibuk. Selain itu, membuat supporting system adalah cara untuk menghadapi burnout. Sehingga apabila gejala burnout sudah muncul, kita bisa mengalihkan kepada hal-hal lain dari supporting system yang sudah kita buat. Selanjutnya, Fatmawati (2017) menyebutkan bahwa fenomen burnout juga bisa diredakan dengan penurunan intensitas kerja. Dalam hal ini, mahasiswa bisa berhenti sejenak dari rutinitas kita untuk sekedar beristirahat dan mengerjakan hal lain. Selain itu, Sigit (2019) menuturkan bahwa membangun komunikasi yang baik dengan lingkungan sekitar mampu menurunkan tingkat stress pada mahasiswa.

Nah, bagaimana apakah kalian sedang mengalami Burnout? Untuk itu, beberapa hal di atas bisa dilakukan untuk meredakan gejala tersebut. Ingatlah bahwa kesehatan mental dan pikiran juga termasuk hal penting selain kesehatan jasmani. Mahasiswa hebat, Yes! Mahasiswa stress, No!

 

Source:

Fatmawati, R. (2017). Burnout pustakawan: Faktor-faktor dan dampak. Shaut al-Maktabah: Jurnal Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi9(1), 103-114.

Murpi, A. (2013). Upaya guru dalam mengatasi sindrom burnout melalui peningkatan efikasi diri dan dukungan sosial (studi kasus di smk wahidin kota cirebon) (Published Thesis, IAIN Syekh Nurjati Cirebon).

Sigit.N. (2019). Hubungan antara distress menghadapi skripsi dan burnout menghadapi skripsi pada mahasiswa. (Published Thesis, Sanata Dharma University)

 

Penulis : Sibakhul Milad

Editor : Sakinah

Related Posts