Benarkah Beasiswa Hanya Untuk Kaum Pintar?

Jika mendengar kata beasiswa, pasti setiap orang memahami makna yang berbunyi bahwa beasiswa adalah dana bantuan atau tunjangan biaya pendidikan yang diterima pelajar ataupun mahasiswa untuk melanjutkan studinya. Beasiswa bisa datang dari mana saja, seperti pemerintah, perusahaan, hingga yayasan dan lembaga pribadi.

Namun sering kali kita temukan beberapa persyaratan yang mengharuskan pelamar beasiswa menuntaskan beberapa kewajiban, seperti nilai yang bagus, selalu naik kelas, atau dengan jumlah rata-rata tertentu dan grafik nilai yang selalu naik. Di sini, kamu akan belajar memahami makna beasiswa dan fungsi beasiswa itu sendiri. Mulai dari sejarah dunia beasiswa, sejarah di Indonesia, dan perdebatan yang tak henti-hentinya perihal penerima beasiswa.

Sejarah Beasiswa

Dilihat dari kaca mata internasional, beasiswa untuk pelajar pertama kali muncul pada tahun 1643. Ternyata beasiswa sendiri sudah tersedia beratus-ratus tahun ke belakang dari sekarang. Beasiswa ini pertama kali difasilitasi oleh Lady Anne Radcliffe Mowlson untuk Kampus Harvard. Selanjutnya, beasiswa dikembangkan kembali atas nama Cecil John Rhodes di tahun 1902, beasiswa ini pun dikenal dengan Beasiswa Rhodes.

Setelah dua beasiswa ini membawa kabar ke seluruh penjuru, kemudian muncul United Negro College Fund (UNCF) yang diselenggarakan di tahun 1944, dan beasiswa lainnya yang menerima pelamar setiap beberapa tahun sekali. Sementara di Indonesia sendiri, Ibu kita Kartini lah yang menjadi penggagas beasiswa untuk pertama kali.

Di tahun 1903, Kartini dan adiknya menerima biaya pendidikan dari pemerintahan Belanda untuk melanjutkan sekolah di Batavia. Namun Kartini merasa beasiswa sejumlah 4800 gulden ini jauh lebih pantas diberikan kepada orang lain. Orang lain yang diminta Kartini adalah Agus Salim, karena menurutnya Agus Salim adalah sosok yang cerdas. Buktinya ujian tugas akhir sekolah menengah Belanda, Hogere Burger School (HBS) milik Agus Salim meraih peringkat pertama di antara ketiga HBS lainnya di wilayah Surabaya, Semarang, dan Batavia.

Kartini pun menyampaikan pesannya dalam surat kepada Tuan Abendanon, pemerintah Belanda yang membiayainya. Dalam surat tersebut, Kartini juga memberi saran untuk membiayai seluruh pendidikan Agus Salim, namun tidak keberatan apabila Agus Salim hanya menerima 4800 gulden.

Tak lama setelah gagasan Kartini didengar banyak orang, masyarakat pun berlomba-lomba membuat dana pendidikan bagi pribumi. Beasiswa berlanjut dimulai dari tiga sosok bangsawan Jawa, Pangeran Notodirojo dari Pakualaman Yogyakarta, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, redaktur surat kabar Sinar Matahari, dan Mas Sudiro Husodo, dokter Jawa sekaligus redaktur surat kabar Jawa Retnodoemilah.

Dari sinilah, beasiswa di Indonesia makin marak dan bisa diakses oleh banyak orang, tidak lagi menjadi alasan bahwa ekonomi menghalangi jalan seorang pelajar untuk meraih cita-citanya.

Siapa yang lebih membutuhkan beasiswa?

Dewasa ini, sering kali muncul perdebatan perihal beasiswa. Benarkah beasiswa untuk pelajar yang pintar saja? Atau mereka yang tidak mempunyai biaya harus lebih diprioritaskan?

Dua pertanyaan yang memicu perdebatan itu sejatinya sudah ada jawabannya. Ragam beasiswa tak hanya satu dua, namun kini tersedia dalam jumlah banyak. Tak hanya berfokus pada pelajar yang pintar saja. Bahkan mahasiswa yang memiliki ekonomi rendah pun bisa mengakses beasiswa dengan mudah. Tetap saja, masih banyak penyelenggara menggunakan nilai sebagai salah satu ketentuan memperoleh beasiswa. Hal ini merupakan salah satu bentuk evolusi beasiswa.

Ketika beasiswa muncul pertama kali, banyak sekali pelamar yang diterima sekaligus dan tidak memerlukan seleksi. Karena sumber dana masih banyak dan pesaingnya pun masih terhitung. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, beasiswa menjadi ajang kompetisi antar pelamar agar lolos dan mendapatkan dana tunjangan.

Nilai menjadi salah satu ketentuan sebagai alat ukur untuk mempertimbangkan siapa yang pantas diantara banyaknya pelamar. Sama seperti pekerjaan, akan ada yang tersisihkan karena kuota yang tidak mencukupi.

Beda cerita dengan Hamburg University of Fine Arts (HBFK), universitas ini mendobrak stigma beasiswa hanya untuk kaum pelajar pintar saja. Ya, HBFK pernah menyelenggarakan beasiswa bagi pelajarnya yang tidak ingin melakukan sesuatu.

Pada Agustus 2020, Friedrich von Borries, seorang profesor teori desain, mengumumkan beasiswa ini. Pada Juli 2021, pameran dari hasil beasiswa pun ditampikan di Museum für Kunst und Gewerbe Hamburg (MK&G) dalam eksibisi “School of No Consequences, Exercises for a New Life”. Dalam acaranya, banyak pelajar yang mendaftar dan lolos mendapatkan beasiswa. Satu-satunya syarat untuk mendaftar adalah pelamar harus menjelaskan hal apa yang mereka tidak ingin lakukan dan berapa lama ingin melakukannya.

Pelamar yang mendaftar beasiswa pun menghasilkan submisi yang kaya akan pengetahuan baru. Seperti Kimberley Vehoff, dia menjelaskan tidak ingin melakukan pekerjaannya sebagai ahli teknologi pangan selama enam hari. Kimberley menjelaskan bahwa pekerjaannya sering kali membuatnya lupa akan keluarga dan tidak menjalin hubungan yang baik bersama kerabatnya.

Karenanya, dia tidak mau bekerja selama enam hari berturut-turut dan berniat untuk memperbaki hubungannya dengan keluarga dalam rentang waktu tersebut. Ada pula yang tidak ingin berkendara dengan mobil karena terlalu banyak menyumbang polusi, dan tidak ingin menggunakan plastik karena terlalu menumpuk sebagai limbah.

Beasiswa yang didanai oleh Leinemann Kunststiftung Nikolassee membuka wawasan kita bahwa tetap ada nilai di balik absennya sebuah kegiatan. Seperti para pelamar beasiswa yang tidak melakukan kegiatan tertentu karena alasan yang menguntungkan.

 

Penulis : Sri Fatimah

Editor : Sakinah

Related Posts