Untuk memudahkan para pembaca yang ada, di sini penulis hanya membahas mengenai konteks kelulusan dalam institusi pendidikan bukan hal yang lain. Pastinya setelah menempuh segala macam ujian serta proses yang sulit dan panjang, seorang siswa maupun mahasiswa akan mendapati dirinya dalam penghujung masa akhir kehidupan sekolahnya. Apabila seluruh siswa maupun mahasiwa telah memenuhi standar atau kriteria yang ada maka mereka berhak dinyatakan lulus atau purna studi.
Di Indonesia, pendidikan formal yang harus ditempuh oleh seseorang dimulai sejak Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Namun, tidak semua orang diberkati dengan kondisi ekonomi serta sosial yang mendukung dirinya bisa mengemban pendidikan yang lebih tinggi atau layak. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada Maret 2023, berikut ini adalah persentase tamatan tingkat pendidikan di Indonesia: SMA/sederajat: 30,22%, SD/sederajat: 24,62%, SMP/sederajat: 22,74%, Perguruan tinggi: 10,15%.
Dari data-data tersebut tentu sebuah ketimpangan tergambar dengan jelas bahwa belum semua orang berkesempatan mendapatkan pendidikan yang layak. Tentu ini menjadi sebuah tantangan bagi pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, dalam visi Indonesia Emas 2045. Eits! Tahan dulu, artikel ini tidak akan membahas atau menyoal isu pemerataan pendidikan serta solusi atau semacamnya, namun berisi tulisan ringan yang (mungkin) relevan bagi sebagian orang.
Kembali ke pokok pembahasan. Umumnya, rata-rata masyarakat Indonesia mampu mengenyam pendidikan hingga ke tingkat menengah yang ditempuh hingga 13-14 tahun lamanya. Selama periode waktu tersebut tentu seseorang telah mengalami banyak momen kelulusan yang dimulai dari Pendidikan Anak Usia Dini hingga Pendidikan Menengah. Di momen-momen kelulusan itulah seseorang akan mengalami proses kedewasaan secara berkala. Diantara banyaknya momen kelulusan dalam tingkat pendidikan, Pendidikan Tingkat Menengah menjadi periode peralihan yang cukup signifikan bagi kehidupan seseorang. Bagaimana tidak? Tidak seperti kelulusan-kelulusan sebelumnya, tantangan yang dihadapi tidak hanya berkutat soal pendidikan saja, namun akan jauh lebih kompleks mengenai kehidupan yang sebenarnya.
Di momen itulah seseorang akan mulai berpikir lebih jauh perihal jalur masa depan apa yang akan ditempuh. Apakah seseorang akan langsung bekerja karena harus membantu beban finansial dan ekonomi keluarga? Memulai usaha atau bisnis yang sebelumnya dikelola oleh keluarganya? Atau memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi yang tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menikmatinya.
Memang bukan perkara yang mudah, menjadi dewasa berarti harus lebih siap memikul beban tanggung jawab. Ini bukan hanya soal beratnya berangkat pagi hari ke sekolah untuk piket, mengerjakan soal matematika yang jauh berbeda dari contoh yang diberikan, dihukum guru karena tidak memakai atribut lengkap ketika upacara, tapi jauh lebih berat daripada itu. Apalagi ketika seseorang memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Mungkin bagi beberapa orang beranggapan bahwa kuliah tidak jauh berbeda dengan belajar di tingkat pendidikan sebelumnya, tapi lagi-lagi itu tidaklah benar. Ketika seseorang telah melangkahkan kakinya untuk berada dalam lingkungan pendidikan tinggi, di saat itulah perang sesungguhnya dimulai.
Kenapa perang? memang sesusah itu? Ya, fase pendidikan tinggi amat jauh berbeda dengan fase pendidikan lainnya. Untuk menjadi seorang mahasiswa saja bukan hal yang mudah, kita harus belajar dengan sungguh-sungguh sebelum bisa menikmati privilage yang ada di dalam perguruan tinggi yang kita impikan. Tidak semua kerja keras akan terbayar dengan hasil yang diinginkan, nyatanya banyak juga akhirnya yang gagal untuk masuk ke universitas dambaan itu. Ada yang mencoba peruntungan di perguruan tinggi lain, ada juga yang memutuskan untuk gap year, bahkan ada yang akhirnya memutuskan langkahnya untuk berhenti karena merasa tak kunjung berhasil setelah mencoba berkali-kali. Akhirnya ada yang berhasil masuk ke universitas impian, ada juga yang tetap kuliah walaupun tidak berada di universitas bergengsi.
Dari proses semacam itu, dapat ditebak bahwa proses selanjutnya tidak akan semudah yang dikira. Dulu orang-orang mengira kuliah tak jauh berbeda dengan pendidikan sebelumnya, bahkan akan lebih menyenangkan karena bertemu dengan banyak orang dari berbagai daerah dan kultur yang berbeda. Nyatanya tidak seperti itu. Bertemu dengan orang yang berbeda berrati harus siap menerima perbedaan dan beradaptasi dengan kultur yang ada, bukan malah menunjukkan sikap egoisme serta merasa paling benar. Kuliah bukan tentang bebas memakai pakaian ketika pergi ke kampus, akan tetapi belajar untuk berpenampilan menarik serta sopan dengan pakaian yang dimiliki. Kuliah bukan tentang bebas untuk begadang tanpa pandang bulu, akan tetapi belajar untuk manajerial waktu agar lebih siap menghadapi dunia kerja yang lebih kompleks. Kuliah bukan tentang merasa bebas bertindak di perantauan, akan tetapi belajar untuk menahan diri dan fokus kepada hal-hal yang penting saja.
Setelah melalui proses yang panjang mahasiswa akan dipertemukan dengan fase skripsi. Di fase ini, mahasiswa harus mencurahkan usaha dan waktu agar bisa wisuda dan menjadi alumni. Betapa bahagianya seseorang bisa dinyatakan lulus setelah melalui segala proses yang tidak mudah, bahkan mungkin bisa berdarah-darah dalam menggapainya.
Bahkan setelah lulus kuliah pun, tantangan yang ada tidak akan berhenti begitu saja. Mungkin dengan kuliah kita bisa menunda sedikit untuk merasakan dunia kerja yang sesungguhnya, tapi pada akhirnya mau tidak mau harus dihadapi. Masing-masing orang harus sudah siap dengan pilihan hidup yang ia pilih untuk ke depannya, bukan lagi rencana kecil-kecilan tapi rencana besar dan matang. Cita-cita yang dulunya hanya angan-angan belaka, harus mulai diwujudkan dengan segala jerih payah yang ada.
Bekerja sesuai passsion atau bekerja untuk bertahan hidup, demikianlah pilihan yang nantinya dipilih oleh sederet alumni perguruan tinggi. Kita tidak bisa selamanya diam, kita memerlukan fondasi untuk bisa bertahan ke depannya. Tak terbatas soal karir, kita juga harus mulai merencanakan akan menikah dan membangun keluarga sendiri serta menjadi sosok orangtua bagi anak-anak kita nantinya. Rumit bukan? Pastinya rumit, karena kita akan dihadapkan masalah yang bertubi-tubi dalam hidup ini.
Sebagai catatan akhir dari penulis, manusia itu akan terus diterpa masalah dalam hidupnya bagaikan air yang mengalir. Namun, kita pasti akan belajar berenang di air yang mengalir itu.
Penulis : Alvin Ferdiansyah
Editor : Sakinatudh Dhuhuriyah